Rabu, 11 Februari 2009

Nakhoda Perempuan Pertama untuk Pertamina

Nakhoda Perempuan Pertama untuk Pertamina


Penulis : Amaya Surbakti
Karen Agustiawan/Dok Pertamina
JAKARTA--MI: Pertamina sebagai Perusahan Minyak dan Gas Terbesar Indonesia untuk pertama kalinya dipimpin seorang perempuan. Karen Agustiawan telah ditunjuk menggantikan posisi Ari H Soemarno sebagai Dirut Pertamina. Beban Karen tidak mudah. Ia harus bisa menjawab tuntutan Pertamina yang masih harus berkutat di sektor hilir migas.

Karen Setiawan lahir di Bandung, 19 Oktober 1958. Lulusan Faktultas Teknik Fisika ITB, Bandung ini memulai karir sebagai sistem analis dan programer di Mobil Oil Indonesia (MOI) pada tahun 1984. Tiga tahun kemudian dia menduduki posisi seismic processor dan quality controller MOI, hingga akhirnya pada periode 1989-1992 Karen dipercaya untuk pindah tugas ke Mobil Oil Dallas, Amerika Serikat.

Kembali ke Tanah Air, Karen menduduki posisi project leader exploration computing department MOI hingga tahun 1999. Pada 2000, perempuan berusia 50 tahun ini bergabung di Landmark Indonesia sebagai business development manager.

Pada 2002, Karen pindah ke Halliburton Indonesia, perusahaan global yang membuat peralatan eksplorasi dan servis di bidang minyak dan gas bumi, sebagai commercial manager for consulting and project management.

Pengalaman di bidang migas ini membuat Karen dilirik Pertamina untuk menduduki posisi staf ahli Pertamina bidang hulu selama periode 2006-2008, hingga akhirnya pada 5 Maret 2008 lalu Karen diangkat untuk menduduki posisi direktur hulu Pertamina.

Belum genap setahun, atau tepatnya Kamis (5/2) ini, Karen mendapat kehormatan untuk menjadi perempuan pertama yang memimpin Pertamina.

Usia Karen yang sebaya dengan berdirinya Pertamina ini memang cukup fenomenal. Ia harus memimpin BUMN migas nasional yang memiliki fungsi strategis bagi kelangsungan pemerintahan.

Segudang persoalan yang selalu dihadapi Pertamina telah mengadang Karen. Bahkan seorang Ari H Soemarno yang cukup berpengalaman tidak sanggup menyelesaikan masalah-masalah di Pertamina, mulai dari tugas sebagai public service obligation (PSO) dalam menyediakan bahan bakar minyak bersubsidi, konversi minyak tanah ke elpiji hingga masalah pengelolaan migas untuk mengisi pundi-pundi anggaran pemerintah.

Jika dilihat dari pengalaman Karen di sektor migas, banyak kalangan meragukan kapasitas alumni ITB angkatan 1978 ini. Karen dinilai hanya matang di sektor hulu migas, sementara untuk urusan direktur utama Pertamina, selain masalah hulu, justru sektor hilir migas yang paling sering menjadi batu sandungan kinerja direksi Pertamina.

Hal ini diakui oleh Kurtubi, Pengamat Perminyakan Indonesia ini, menyatakan bahwa terpilihnya Karen sebagai Dirut Pertamina cukup mengejutkan karena selama Karen menjabat sebagai Direktur hulu belum pernah ada prestasi signifikan yang dilakukan oleh Karen.

Menurut Kurtubi, kepada Mediaindonesia.com, Kamis (5/2) siang ini, pengalaman Karen masih lebih kepada pengalaman di sektor hulu Pertamina, sedangkan menengok kondisi Pertamina saat ini, sektor hilir Pertamina yakni sektor yang menangani pemenuhan BBM dan Migas kepada masyarakat, sedang membutuhkan perhatian lebih berbagai pihak, baik Pertamina maupun Pemerintah.

“Hingga saat ini saya masih belum mendengar konsepsional yang jelas dari Karen untuk pembenahan Pertamina di sektor hilir. Sedangkan, tantangan Pertamina di sektor hilir pada masa mendatang akan lebih besar karena sektor hilir memiliki dampak sosial politik yang lebih besar daripada sektor hulu. Sehingga saat ini Pertamina membutuhkan sosok pemimpin yang tegas dan mampu bernegoisasi dengan stake holder Pertamina dalam membenahi Pertamina ke depannya,” jelas Kurtubi.

Namun, Kurtubi menambahkan, keraguan terhadap kinerja Karen ke depan dapat diatasi jika Karen dapat menyusun staf direksi dengan kombinasi yang tepat dan solid di sektor-sektor yang tepat di Pertamina. Kini 'Kapal Tanker Super Besar' (baca Pertamina) dinakhodai seorang perempuan. (OL-02)