Selasa, 24 Juli 2012

Menggugat Kembali Hak Anak

Selamat hari anak nasional, ya, tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Satu hari yang diletakkan di kalender nasional yang menunjukkan arti penting seorang anak bagi satu negara. Calon-calon pemimpin bangsa yang pada gilirannya akan menjadi pewaris peradaban dan membawa tongkat estafet pembagunan. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, kian hari eksistensi dukungan terhadap perkembangan kehidupan anak justru semakin menipis. Menipisnya dukungan tersebut jangan dikira sekedar isapan jempol belaka. Sepanjang 2012 tercatat 20 anak bunuh diri dan KomNas Perlindungan Hak Anak bahkan mencatat terdapat 686 jumlah pelanggaran, diantaranya terdapat 42 kasus pembuangan dan penelantaran anak. 

Menipisnya dukungan terhadap hak anak juga terjadi di bidang pendidikan. Ya, pendidikan, pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu elemen terpenting dalam suatu negara. Bagi level atas, pendidikan merupakan unsur yang menjaga agar suatu bangsa dan negara tetap kompetitif di persaingan global. Dan di level yang lebih membumi, pendidikan merupakan pemutus rantai siklus kemiskinan. 

Aspek yang begitu penting ini justru semakin hari kian tidak diperhatikan dan mengarah ke arah komersialisasi. Lihat saja contohnya, RUU PTN yang menimbulkan kontroversi yang dipandang akan meningkatkan lagi biaya pendidikan tinggi yang sudah mahal. Gugatan berbagai pihak tak dihiraukan dan tak menghentikan pengesahan RUU ini.

Bahkan dari aspek pendukung pendidikan di kehidupan sehari-hari seperti televisi semakin menjauh dari unsur mendidik. Tayangan televisi tidak lagi memperhatikan unsur pendidikan anak dan didominasi acara hiburan yang bahkan pembawa acaranya mencontohkan tindak kekerasan atau saling mencemo'oh. Rindu rasanya menyaksikan kartun di pagi hari, acara kuis-kuis yang mendidik seperti Digital LG Prima atau acara debat dan diskusi antar pelajar yang dulu tidak hanya disiarkan oleh TVRI.

Atau tak usah lah kita pikir tentang uang kuliah, tak usah kita pikir tentang tayangan pendidikan. Banyak anak justru kesulitan atau bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar. Lihat saja bagaimana anak-anak sekolah ini harus mempertaruhkan nyawa untuk pergi ke sekolah.

"Jembatan" tali di Lebak (Reuters/Beawiharta Photo)

Bila tidak melewati jembatan, maka pelajar harus memutar dan berangkat pukul 4 pagi. (Reuters/Beawiharta Photo)
Masih banyak daftar panjang carut marut pendidikan, seperti insfrastruktur sekolah yang rusak, atau bahkan yang paling baru adalah penggusuran sekolah gratis, Sekolah Darurat Kartini, yang sudah dibuka dari 1990  bukan berasal dari dukungan pemerintah, tapi jiwa sosial dua bersaudara kembar, Sri Rossyati (63) dan Sri Irianingsih (63), sekolah tersebut gratis, bahkan alat-alat sekolah hingga seragam pun diberikan secara cuma-cuma. Ya, memang itu bukan lahan resmi milik mereka dan "meminjam" kolong jembatan seadanya yang merupakan tanah PT. KAI. Namun hal ini menunjukkan kurangnya partisipasi pemerintah dalam hal pendidikan dan bagaimana bidang pendidikan masih menunggu jiwa-jiwa sosial kita yang pada suatu saat, penghalang pendidikan tersebut justru datang dari pemerintah. Ibarat kata, pemerintah datang tanpa diundang, menyuruh pergi  tanpa solusi.

Sekolah Darurat Kartini


Kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak akan berimbas pada meningkatnya pengangguran tidak terdidik dan tidak memiliki keahlian yang cukup yang nantinya berefek pada tingkat kriminalitas, kemiskinan dan lain sebagainya. 
"He/She who opens a school door, closes a prison" (Victor Hugo, sastrawan Perancis)
Kita patut bersyukur masih ada yang berusaha seperti Sri Rossyati (63) dan Sri Irianingsih (63) yang mendirikan sekolah tersebut, atau orang-orang lain di negeri ini yang berjuang di bidang pendidikan terlepas dari kurangnya dukungan dari komponen-komponen lain di negeri ini. Tidak terbayang berapa banyak "Budi kecil" seperti di lagu Sore Tugu Pancoran karya Iwan Fals yang ada di negeri ini.



Sudah saatnya kita menanyakan kembali bahkan menggugat hak anak terutama dalam hal pendidikan. Hak dari calon pewaris peradaban dan calon pembawa tongkat estafet pembagunan, yang merupakan kewajiban dari pembawa estafet pembangunan dan pemimpin bangsa saat ini.