Sabtu, 03 Maret 2012

53 Tahun ITB, Harapan yang Belum Terwujud

Tanggal 2 Maret 1959 merupakan peresmian pendirian ITB oleh Presiden Soekarno. Namun kampus ITB sejatinya sudah ada sejak zaman belanda atau tepatnya 3 Juli 1920 dengan nama Technische Hoogeschool et Bandung. Selama perjalanannya nama Technische Hoogeschool et Bandung terus berganti dari waktu ke waktu, bahkan menjadi terakhir menjadi Universitas Indonesia sebelum menjadi ITB. Ya, Universitas Indonesia, Kakek saya adalah salah satu alumni ITB ketika ITB masih bernama Fakultas Teknik Universitas Indonesia lengkap dengan lambang makaranya. Namun akhirnya ITB diresmikan dengan konsentrasi ilmu teknik dan Universitas Indonesia didirikan terpisah.

Cover Depan Buku 30 Tahun 

Saat saya tengah merapikan lemari buku, tak sengaja mata saya tertuju pada sebuah buku yang ternyata adalah buku peringatan 30 tahun ITB. Buku yang dibuat pada tahun 1989 dan diterbitkan tahun 1991 ini kurang lebih menceritakan pandangan akan kondisi Indonesia saat itu dan juga harapan serta perkiraan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di Indonesia, khususnya melalui ITB pada jangka 20 hingga 25 tahun dari saat itu. Beberapa isu yang ada di dalamnya diantaranya adalah perkiraan tentang perkembangan teknologi nano yang kian pesat, bagaimana fase REPELITA selanjutnya (ya dengan asumsi Soeharto akan bertahan lama) dan kondisi perekonomian Indonesia di masa datang. Sudah 23 tahun berlalu sejak 1989, menarik rasanya melihat kebelakang dan bercermin apakah pandangan dan harapan yang ada telah tercapai.

Halaman Depan Buku 30 Tahun ITB
Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah mengenai harapan bagaimana dunia pendidikan dan industri  dapat bekerja sama sehingga nantinya akan membangun perekonomian Indonesia. Menurut Prof. Iskandar Alisjahbana [1], ITB membutuhkan Industrial Park atau Science Park di dekat kampus. Industrial Park ini dimaksudkan untuk kemudahan pendirian industri-industri kecil yang bersifat pionir. Beliau berkata, "Alangkah indahnya kalau industri ini berasal dari kelanjutan penelitian dosen-dosennya". Ia mencontohkan dengan pendirian Science Park di Universitas Singapura (saat ini NUS) yang meski baru didirikan 7 tahun (berdiri pada 1982), Beliau langsung menyadari potensi dan dampak yang akan ditimbulkan di masa mendatang untuk Singapura dan tumbuhnya industri-industri high tech di negara tersebut. Saat ini Science Park tersebut terus berkembang dan bahkan pada tahun 2011, perusahaan pembuat Harddisk, Western Digital, juga  mendirikan pusat R&D di Singapore Science Park.

Kerjasama antar dunia pendidikan dan industri tersebut Prof. M. T. Zen[2] dalam buku ini, dapat terjadi akibat semakin besarnya biaya yang dibutuhkan nantinya dalam industrial research sehingga mendorong adanya integrasi antara pendidikan tinggi, kegiatan R&D dan industri.  Hal tersebut menimbulkan adanya technopole, yaitu pusat-pusat perkembangan yang terdiri dari universitas, lembaga riset dan industri disekelilingnya, dimana terdapat kerjasama yang erat dan saling menguntungkan. Technopole-technopole tersebut tersebar di seluruh dunia seperti di Perancis, Jepang, Amerika, Jerman dan banyak negara lain. Contoh technopole yang ada adalah, Silicon Valley, Standford Research Park dan banyak lagi di Amerika atau yang paling dekat dengan Indonesia tentu saja, Singapore Science Park

Dengan technopole tersebut maka industri memanfaatkan sumber daya intelektual universitas serta lembaga R&D, sebaliknya industri dapat menyalurkan dana ke universitas dan lembaga R&D. Dan pemerintah dapat memusatkan pembiayaan kepada disiplin ilmu dasar atau ilmu-ilmu yang tidak langsung berhubungan dengan industri.

Setelah lebih dari 20 tahun diungkapkan, sepertinya cita-cita Indonesia memiliki technopole yang berkontribusi pada perkembangan Indonesia, bahkan menarik perusahaan asing untuk memiliki R&D di Indonesia belum terwujud. Meski demikian, usaha mewujudkan Science Park sudah ada, contohnya dengan PUSPITEK. Namun menurut pandangan saya, PUSPITEK yang ada pun terkesan terisolasi dari dunia luar karena jauh dari universitas maupun industri dan kurang menginformasikan hasil karyanya kepada khalayak ramai. Kegiatan penelitian yang ada seolah hanya untuk kesenangan pribadi peneliti dan sekedar penelitian penghasil paper atau jurnal ilmiah yang hasilnya tidak dapat langsung dirasakan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Masih jauh rasanya kita bisa mengejar Singapore Science Park yang berisi R&D perusahaan asing seperti Sony, Exxon Chemical, Silicon Graphics dan Western Digital.

Model Arah Pengembangan Teknologi dan Dampaknya (oleh Prof. Astrid S. Susanto)

Menurut Prof. Astrid S. Susanto[3] dalam modelnya di buku ini, ketika universitas berfokus pada pengembangan teknologi yang bertujuan berkontribusi baik dari segi sosial dan ekonomi, maka hal tersebut akan mengarah pada kesejahteraan. Meskipun tidak dijelaskan secara lebih lanjut, saya setuju dengan hal tersebut. Penelitian yang berdasarkan kebutuhan masyarakat (segi sosial) atau potensi pasar (segi ekonomi) akan menciptakan produk yang dapat diterima masyarakat dan dikomersialisasikan. Produk akhir yang diterima dan bermanfaat bagi masyarakat tentunya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu hasil dari komersialisasi tersebut nantinya dapat terus digunakan untuk proses pengembangan dan penelitian berkelanjutan dari suatu teknologi. Dengan adanya hubungan berkelanjutan antara penelitian, kebutuhan masyarakat, dan proses keekonomian maka secara berkala akan menciptakan peningkatan kualitas hidup masyarakat serta kualitas inovasi teknologi Indonesia.

Indonesia dan ITB khususnya saat ini mempunyai peluang untuk bergerak lebih lanjut ke arah Technopole dan Science Park tersebut. Perkembangan kegiatan entepreneurship yang didukung oleh berbagai pihak dalam bentuk dana dan pelatihan apabila dimanfaatkan dengan baik dan mengarahkannya ke Technopreneurship maka Science Park atau dengan cita-cita yang lebih tinggi yakni Silicon Valley Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat dan ekonomi bangsa bukan sebuah isapan jempol belaka.

Apabila hal tersebut dapat tercapai, maka terwujudlah apa yang dikatakan Multatuli: ". . . . . kepulauan Nusantara yang tersebar di khatulistiwa bagaikan zamrud terlepas dari untaiannya"


footnote:
[1] Mantan Rektor ITB periode 1977-1978. Dikenal juga sebagai Bapak sistem komunikasi satelit domestik palapa.
[2] Guru Besar Geofisika Terapan ITB, salah satu pencetus berdirinya program studi Geofisika.
[3] Profesor Komunikasi dan Perkembangan Sosiologi Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar: